Kamis, 09 Mei 2013

TUGAS 2 - PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 



ABSTRAK
ACFTA (asean-china free trade agreement) telah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi industri dalam negeri di indonesia. Produk-produk cina belakangan telah membanjiri pasar domestik hingga ke pasar-pasar tradisional. Kita seharusnya melihat ACFTA sebagai sebuah kesempatan (opportunity) dalam persaingan ekonomi, sehingga Indonesia diharapkan dapat menghadapi tantangan pasar global dengan melakukan berbagai pembenahan-pembenahan disektor industri maupun kebijakan pemerintah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber-sumber ekonomi yang jika dikelola dengan baik pasti mampu berkompetisi di pasar internasional.








BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi danoptimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitasakan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China?Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumenIndonesia. Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Denganadanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberikontribusi positif memperkuat daya saing global. Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri.


B. LANDASAN TEORI
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.




BAB II
PEMBAHASAN


•PERSIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA
ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 mulai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China? Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu member kontribusi positif memperkuat daya saing global.
Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia (Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini berperan menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA yang dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian, Deputi Menko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi Putra ini menyoroti kebijakan, potensi gangguan ekspor impor dan pemanfaatan peluang.
Dengan adanya tim ini dapat dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa dipakai untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu ditangani demi memperkuat daya saing industri nasional di ajang kompetisi ACFTA. Namun, pada kenyataannya, pembentukan tim tersebut kurang cukup membantu dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan masih minimnya daya saing produk Indonesia yang menjadi tombak perekonomian. Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya adalah peran dari strategi perdagangan dan industri. Tanpa strategi industri dan perdagangan, suatu negara tidak mungkin membangun industri yang kompetitif dan produktif.
Apabila dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi persaingan, sedikitnya ada 14 sektor usaha yang harus dirundingkan ulang (renegoisasi) untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun kedepan.


TUJUAN ACFTA
 Tujuan dari pembentukan ACFTA ini adalah untuk menciptakan sebuah kawasan ekonomi yang memiliki pasar sebesar 1.7 miliar konsumen, dengan GDP total sebesar 2 triliun dolar. Total perdagangan yang berlangsung di kawasan ini diperkirakan mencapai 1.23 triliun dolar. ACFTA akan menjadi kawasan perdagangan bebas yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia. Sementara itu tujuan lain adalah untuk menggiatkan perdagangan antara ASEAN dan China, yang sejak tahun 2000 telah mengalami laju pertumbuhan yang dramatis.
 Secara teoritis pemberlakuan ACFTA merupakan hal yang menguntungkan bagi Negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dengan peniadaan hambatan perdagangan maka akan dapat dikurangi dead weight loss dalam ekonomi. Akan tetapi secara polits, kondisi ini dikhawatirkan akan sulit untuk dicapai.
Seperti yang kita maklumi, wacana pemberlakuan ACFTA memperoleh tantangan dari berbagai pihak di dalam negeri. Mulai dari petani, pengusaha, hingga DPR mengungkapakan keberatan dengan perjanjian perdagangan bebas ini. Hal ini tentunya tidak lepas dari kekhawatiran bahwa perdagangan bebas dengan China akan mengakibatkan turunnya pangsa pasar produk dalam negeri, terutama dari sektor pertanian dan manufaktur.
Dalam membentuk ACFTA, para kepala negara anggota ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN – China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para kepala negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement onComprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Pnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002.
 Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN – China FTA melalui keputusan presiden nomor 48 tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.
 Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos.
persetujuan jasa ACFTA ditandatangani pada saat pertemuan ke 41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 agustus 2009 di Bangkok, Thailand.



DAMPAK ACFTA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA
Setelah diberlakukannya ACFTA, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perekonomian Indonesia semakin morat-marit. Beberapa sektor semakin memburuk dan tidak jarang industri yang gulung tikar akibat serbuan produk China yang sangat gencar. Berikut dampak positif dan negatif ACFTA bagi indonesia .
Dampak positif :
  1. ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dariinvestasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yangtidak menjadi peserta ACFTA.
  2. Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi.
  3. ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena denganadanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murahdan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula (pemaparan MENKEU SriMulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI), Rabu (20/1). Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMNtersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
Dampak Negatif :
  1. Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
  2. Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade SudrajatUsman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar. Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganyamurah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
  3. Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum sajaharus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, makaapalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia
  4. Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Datamenunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesiamencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilaitambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yangmemang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkanekonominya.
  5. Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Inilah dampak ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia yang penulis dapat kemukakan.


ABSENSINYA STRATEGI INDONESIA
Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang tepat dan efisien diperlukan guna memenangkan persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi dibandingkan dengan China. Hal ini dapat kita lihat dari 3 aspek, yakni sebagai berikut :
  1. sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
  2. Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjaga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada saat krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk menjaga permintaan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing berbagai produk ekspor. Tanpastrategi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter akhirnya memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor keuangan dari pada riil.
  3. Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk produk elektronika dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah bahan baku.






BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari2010. Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing. ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesiayang menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam. ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasiakan keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara ini





DAFTAR PUSTAKA

AlFoul, Bassam Abu, 2010, The Causal Relation between Savings dan Economic Growth: Some Evidence from MENA Countries., diakses pada 28 November 2011.
Attanasio, Orazio, James Banks, Costas Meghir, Guglielmo Weber, 1999, Humps and Bumps in Lifetime Consumption. Journal of Business & Economic Statistics,Vol. 17, hal. 22-35.
Azzopardi, Franco, 2004, The Propensity to Save and Interest Rates, , diakses pada 28 November 2011.
http://masnurulhidayat.blogspot.com/
http://aryonelmessi.wordpress.com/2010/06/09/acfta/
http://ninyasmine.wordpress.com/2011/07/19/implikasiacfta/





1 komentar: